Sphenodontia

Sphenodontia adalah reptil mirip reptil lizard-like yang mencakup hanya satu genus , Tuatara (sphenodon), dan juga dua spesies. Meskipun kurang keragaman, Waktu dulu Sphenodontia terdiri dari beberapa family, dan merupakan keturunan kembali pada jaman Mesozoikum.
Sphenodontia, sekali takson wastebin yang berisi bermacam-macam reptil yang tidak terkait (khususnya rhynchosaurs ), hal ini terdiri dari tiga keluarga: yaitu paraphyletic Gephyrosauridae, Pleurosauridae, dan Sphenodontidae. Family Sphenodontidae berisikan semua keluarga Tuatara yang ada sekarang ini , dan juga sejumlah subfamilies yang sudah punah.

Tuatara adalah reptil yang berasal Selandia Baru, tuatara juga menyerupai kadal, hal ini sebenarnya adalah bagian dari garis keturunan yang berbeda, urutan Sphenodontia. Kedua spesies Tuatara adalah anggota yang bertahan pada satu order, yang berkembang sekitar 200 juta tahun yang lalu. nenek moyangnya juga masih pada satu kelompok dengan squamates (kadal dan ular ). Untuk alasan ini, Tuatara sangat menarik untuk studi evolusi antara kadal dan ular, dan untuk rekonstruksi penampilan dan kebiasaan dari awal diapsids (kelompok yang juga mencakup burung, dinosaurus, dan buaya ).

Tuatara berwarna coklat kehijauan, dan berukuran sampai dengan 80 cm (31 in) dari kepala sampai ekor dan berat sampai 1,3 kilogram (2,9 lb) dengan puncak berduri sepanjang punggung, sangat jelas pada jantan. Giginya, di mana dua baris gigi dirahang atas bertumpang tindih satu baris dengan rahang bawah, adalah unik di antara spesies yang ada. Tuatara memiliki mata foto-reseptif yang dijuluki "mata ketiga", yang fungsinya saat ini dijadi subjek penelitian dimana perkiraan digunakan dalam pengaturan sirkadian siklus dan musiman. Mereka mampu mendengar meskipun tidak ada telinga eksternalir, dan memiliki sejumlah fitur unik dalam kerangka mereka, beberapa dari tuatara ternyata berasal dari evolusioner ikan. Meskipun kadang-kadang disebut Tuatara "living fossils", taksonomi dan molekul baru dimana menunjukkan tuatara telah berubah secara signifikan sejak zaman Mesozoikum.

Nama "Tuatara" berasal dari bahasa Māori, dan berarti "puncak di punggung". Seperti banyak kata Māori, bentuk jamak sekarang umumnya sama dengan tunggal dalam penggunaan resmi Selandia Baru bahasa Inggris. "Tuatara" masih digunakan umum dalam bahasa setempat, khususnya di kalangan pembicara yang lebih tua. Tuatara telah dilindungi hukum sejak 1895 (spesies kedua, S. guntheri, tidak diakui sampai 1989). tuatara, seperti banyak hewan asli Selandia Baru, terancam oleh kehilangan habitat dan adanya predator baru seperti Tikus Polinesia (Rattus exulans). Tuatara punah di daratan, sedangkan populasi yang tersisa terbatas pada 32 pulau-pulau dilepas pantai, sampai rilis pertama daratan ke berat dipagari dan dipantau Sanctuary Karori pada tahun 2005.

Selama melakukan pekerjaan pemeliharaan rutin di Karori Sanctuary pada akhir 2008, ditemukan sarang Tuatara , anakan ditemukan musim gugur berikutnya. Hal ini merupakan kasus pertama Tuatara berhasil berkembang biak di daratan Selandia Baru di lebih dari 200 tahun.

Taksonomi dan evolusi
Tuatara, dan adik kelompok mereka Squamata (termasuk kadal, ular dan amphisbaenians ), merupakan  superorder Lepidosauria , yang takson  Lepidosauromorpha. Squamates dan Tuatara keduanya mempunyai kesamaan autotomy (hilangnya ujung ekor ketika terancam), dan memiliki celah transversal kloaka. Asal usul Tuatara mungkin terletak dekat dengan perpecahan antara Lepidosauromorpha dan Archosauromorpha. Meskipun menyerupai kadal Tuatara, sedikit kesamaan, karena Family ini  memiliki beberapa karakteristik unik dibanding  reptil lain. Tipikel bentuk kadal yang khas sering kita temui secara umum pada Amniota; fosil tertua reptil, Hylonomus, menyerupai kadal sekarang.


Tuatara awalnya diklasifikasikan sebagai kadal pada tahun 1831 ketika British Museum menerima tengkorak. Genus ini tetap dikelompokan sampai 1867, ketika Albert Gunther dari British Museum mencatat fitur serupa dengan burung, kura-kura, dan buaya. Ia mengusulkan urutan Rhynchocephalia (berarti "kepala paruhnya") untuk Tuatara dan kerabat fosil. Sekarang, sebagian besar penulis memilih untuk menggunakan nama agar lebih eksklusif Sphenodontia untuk Tuatara dan kerabat terdekatnya hidup.

Banyak spesies yang terkait yang kemudian ditambahkan ke Rhynchocephalia, menghasilkan apa yang taksonomis sebut " wastebasket taxon". Williston mengusulkan  Sphenodontia untuk menyertakan Tuatara dan sesuai fosil kerabat terdekat pada tahun 1925. Sphenodon berasal dari Yunani untuk "baji" (σφηνος / sphenos) dan "tooth" (δόντι / Odon (t)).

Tuatara telah disebut sebagai living fossils, yang berarti kelompok ini dengan mempertahankan banyak karakteristik basal dari kelompok squamate -. membagi rhynchocephalian (220 mya) Namun, taksonomi pada Sphenodontia telah menunjukkan bahwa kelompok ini telah mengalami berbagai perubahan pada era Mesozoikum, dan sebuah studi molekuler terbaru menunjukkan bahwa tingkat evolusi molekulernya lebih cepat daripada hewan lain sejauh diperiksa. Banyak dari relung ditempati oleh kadal saat ini dipegang oleh sphenodontians. Bahkan ada sekelompok sphenodontians air dikenal sebagai pleurosaurs , yang berbeda nyata dari hidup Tuatara. Tuatara menunjukkan adaptasi cuaca dingin yang memungkinkan mereka untuk berkembang di pulau Selandia Baru; adaptasi unik ini mungkin dilakukan untuk Tuatara sejak nenek moyang mereka, sphenodontian tinggal di iklim hangat banyak Mesozoikum.

Spesies
Ada dua spesies yang tersisa: sphenodon punctatus dan sphenodon guntheri yang lebih jarang , atau Saudaranya di Pulau Tuatara, yang terbatas pada utara Pulau Bruder di Selat Cook. Para punctatus untuk nama spesies ini adalah bahasa Latin untuk "melihat", dan guntheri mengacu pada Albert Günther. s. punctatus bernama bila hanya satu spesies yang dikenal, dan namanya menyesatkan, karena kedua spesies sama-sama memiliki bintik-bintik.  Brother's Island tuatara (S. guntheri) memiliki kulit coklat zaitun dengan patch kekuningan, sementara warna spesies lain, (S. punctatus), berkisar dari hijau zaitun melalui abu-abu merah muda menjadi merah atau batu bata gelap, sering berbintik-bintik, dan selalu bintik-bintik berwarna putih. Selain itu, S.guntheri jauh lebih kecil. ketiga, spesies sphenodon diidentifikasi punah pada November 1885 oleh William Colenso, ketika dikirimi sub-fosil spesimen tidak lengkap dari sebuah tambang batubara lokal. S.Colenso bernama spesies baru. S.diversum. sphenodon punctatus lebih lanjut dibagi menjadi dua subspesies: selat Cook Tuatara (subspesies yang tidak disebutkan namanya), yang hidup di pulau-pulau lainnya di dan dekat Selat cook, dan Tuatara sebelah utara (sphenodon punctatus punctatus), yang tinggal di Teluk Plenty, dan beberapa pulau-pulau di sebelah utara. Pada tahun 2009 paper dikaji ulang basis genetik digunakan untuk membedakan dua jenis Tuatara, dan menyimpulkan bahwa mereka hanya mewakili varian geografis, dan hanya satu spesies harus diakui.

Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Animalia
Phylum: Chordata
Subphylum: Vertebrata
Class: Reptilia 
Order: Sphenodontia
Family: Sphenodontidae
Genus: Sphenodon
Gray , 1831 

Spesies
  • Sphenodon guntheri - ( Buller , 1877)
  • Sphenodon punctatus – ( Gray , 1842) 
  • Sphenodon diversum – Colenso, 1885 † 
Daerah Penyebaran
dark red: range (North Island, New Zealand)
 


Sumber
Wikipedia

| | Read More »

Buaya Inderapura Hampir Punah

PAINAN,HALUAN-Inderapura, Tapan, dan Lunang Silaut sejak dulu dikenal dengan daerah buaya. Nyaris seluruh tempat yang memiliki rawa adalah tempat yang cocok bagi buaya tersebut, kondisi alam Inderapura, Tapan dan Lunang Silaut memang me­mungkinkan untuk itu. Masyarakat setempat sering menyaksikan reptil bertubuh besar ini di pinggir-pinggir sungai berjemur bila tengah hari. Hewan ini juga sering kedapatan berburu mangsa. Itu dulu, saat belum terjadi penyempitan lahan buaya. Saat buaya masih banyak.
Menurut keterangan masyarakat di sini, di Inderapura dan dua kecamatan lainnya  hidup dua jenis buaya, yakni buaya katak dan buaya muara. Katak berukuran pendek, sementara buaya muara  berbadan agak panjang dan besar. Buaya di kawasan ini umumnya menghuni habitat perairan tawar seperti sungai, rawa dan lahan basah lainnya, namun ada pula yang hidup di air payau. Dulu sekitar 80 persen wilayah yang dise­butkan tadi memiliki karakteristik habitat buaya.
Makanan utama buaya adalah hewan hewan bertulang belakang seperti bangsa ikan, reptil dan mamalia, kadang-kadang juga me­mangsa moluska (lokan). Semua sumber makanan tadi dulunya ada di wilayah Inderapura. Saat belum terjadi perubahan pada habitat buaya, di sini masih banyak ikan, reptil dan mamalia di rawa rawa. Mereka hidup dalam satu ekosistem, saling menun­jang dan saling membutuhkan.
Hewan purba tersebut, kini habitatnya tinggal sedikit saja. Tempat hidupnya telah terdesak oleh pem­bangunan lahan perkebunan sawit dan pemukiman. Lahan perkebunan di Inderapura hingga ke Lunang Silalut yang juga dikenal banyak buayanya tersebut, telah terbangun dengan masif. Lahan yang dulunya rawa kini telah jadi lokasi peru­mahan, lokasi perkebunan. Barang­kali, analisa mengenai dampak lingkungan tidak diperhatikan saat pembangunan lahan perkebunan.
Sodetan dan pengeringan rawa adalah ancaman pertama yang membuat wilayah tempat hidup buaya menyempit. Ini mulai terjadi semenjak tahun 80-an, kemudian semakin hebat pada tahun 90-an. Sodetan di Inderapura, Basa IV Balai Tapan dan Lunang Silaut telah mengeringkan seluruh rawa yang ada di kawasan itu. Rasanya tidak adalagi rawa yang ideal di Inderapura dan Lunang Silaut tempat hidup buaya. Ruang gerak buaya telah sempit.
Satu- satunya tempat buaya tinggal adalah di sungai. Ke sungai gangguan masih saja ada. Selain gangguan manusia, pinggir sungai di tiga kecamatan ini tidak memungkinkan untuk mendarat. Warga setempat sudah jarang melihat buaya berjemur. Warga tidak melihat lagi prilaku buaya pada musim-musim tertentu, misalnya kurenah buaya saat musim kawin. Bahwa buaya dikenal banyak di Inderapura nyaris tinggal kenangan. Mungkin selangkah lagi kenyataan punah akan sampai.
Hingga kini, belum ada upaya perlindungan serius terhadap aset berharga Pesisir Selatan tersebut. Pembangunan terus terjadi, kekeri­ngan hebat pada rawa tentu terjadi pula. Secara perlahan tapi pasti, perencanaan pembangunan lahan sawit di Pesisir Selatan telah mem­bunuh buaya.
Namun tidak jarang pula, buaya yang telah terdesak habitatnya itu melakukan perlawanan. Nyaris setiap tahun di Batang Lunang dan di Batang Muara sakai ada orang yang menjadi korban buaya. Tewas begitu saja.
Belum Terlambat
Meski tidak ada catatan resmi berapa jumlah buaya yang masih hidup di Pesisir Selatan, maka belum terlambat untuk menyelamatkan hewan langka ini. Kita mulai dari mengenal umur buaya. Bila masih ada buaya muda, maka dengan renta­ngan umur yang sangat panjang, buaya masih bisa membiak di Pesisir Selatan.
Meski tidak ada cara yang meya­kinkan untuk menghitung umur buaya, selain dengan mengetahui waktu penetasannya dahulu, mes­kipun ada beberapa teknik yang telah dikembangkan. Metode yang paling umum digunakan untuk menaksir umur hewan ini ialah dengan menghitung lingkaran tumbuh pada tulang dan gigi. Tiap-tiap lapis lingkaran menggambarkan adanya perubahan pada laju pertumbuhan, yang mungkin disebabkan oleh perubahan musim kemarau dan hujan yang berulang setiap tahun.
Dengan tetap mengingat peluang ketidaktepatan metode ini, buaya yang tertua kemungkinan adalah spesies yang terbesar. buaya muara (C. porosus) diperkirakan dapat hidup rata-rata hingga 70 tahun, dengan sedikit individu yang terbukti dapat melebihi umur 100 tahun. Seekor buaya air tawar jantan diperkirakan bisa mencapai umur 130 tahun. Artinya, dengan sisa buaya yang ada, lewat kerja kerasa dan kesadaran, buaya “kita” bisa terse­lamatkan di Pesisir Selatan.


Sumber
Harian Haluan

| | Read More »

Taman Buaya Cikarang

Jika kita melintas dari Cikarang kearah Bogor/Jonggol/Cianjur/Karawang/Bandung melalui jalan Cikarang-Cibarusah, maka akan melewati kompleks penangkaran buaya di Serang.

Penangkaran buaya ini dikenal dengan Taman Buaya Cikarang. Dengan jumlah buaya kurang lebih 500 ekor, Taman Buaya Cikarang merupakan salah satu penangkaran terbesar di Asia bahkan dunia.

Selain sebagai penangkaran buaya, juga sebagai sarana rekreasi alternatif, karena Taman Buaya juga menyediakan tempat untuk rekreasi. Terdapat taman bermain untuk anak, sarana untuk bersantai, panggung hiburan bahkan pada hari-hari tertentu diadakan pertunjukan manusia dan buaya.

Jadi, mengapa kita tidak bersanti sejenak sambil melihat-lihat buaya di Taman Buaya Cikarang.


sumber
Taman Buaya Cikarang

| | Read More »

Buaya

Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Animalia
Filum      : Chordata
Kelas     : Sauropsida
Ordo      : Crocodilia
Famili     : Crocodylidae- Cuvier, 1807
 Genera

Buaya adalah reptil bertubuh besar yang hidup di air. Secara ilmiah, buaya meliputi seluruh spesies anggota suku Crocodylidae, termasuk pula buaya ikan (Tomistoma schlegelii). Meski demikian nama ini dapat pula dikenakan secara longgar untuk menyebut ‘buaya’ aligator, kaiman dan gavial; yakni kerabat-kerabat buaya yang berlainan suku.
Buaya umumnya menghuni habitat perairan tawar seperti sungai, danau, rawa dan lahan basah lainnya, namun ada pula yang hidup di air payau seperti buaya muara. Makanan utama buaya adalah hewan-hewan bertulang belakang seperti bangsa ikan, reptil dan mamalia, kadang-kadang juga memangsa moluska dan krustasea bergantung pada spesiesnya. Buaya merupakan hewan purba, yang hanya sedikit berubah karena evolusi semenjak zaman dinosaurus. Dikenal pula beberapa nama daerah untuk menyebut buaya, seperti misalnya buhaya (Sd.); buhaya (bjn); baya atau bajul (Jw.; bicokok (Btw.), bekatak, atau buaya katak untuk menyebut buaya bertubuh kecil gemuk; senyulong, buaya jolong-jolong (Mly.), atau buaya julung-julung untuk menyebut buaya ikan; buaya pandan, yakni buaya yang berwarna kehijauan; buaya tembaga, buaya yang berwarna kuning kecoklatan; dan lain-lain.
Dalam bahasa Inggris buaya dikenal sebagai crocodile. Nama ini berasal dari penyebutan orang Yunani terhadap buaya yang mereka saksikan di Sungai Nil, krokodilos; kata bentukan yang berakar dari kata kroko, yang berarti ‘batu kerikil’, dan deilos yang berarti ‘cacing’ atau ‘orang’. Mereka menyebutnya ‘cacing bebatuan’ karena mengamati kebiasaan buaya berjemur di tepian sungai yang berbatu-batu. sumber


Biologi dan perilaku

Di luar bentuknya yang purba, buaya sesungguhnya merupakan hewan melata yang kompleks. Tak seperti lazimnya reptil, buaya memiliki jantung beruang empat, sekat rongga badan (diafragma) dan cerebral cortex. Pada sisi lain, morfologi luarnya memperlihatkan dengan jelas cara hidup pemangsa akuatik. Tubuhnya yang "streamline" memungkinkannya untuk berenang cepat. Buaya melipat kakinya ke belakang melekat pada tubuhnya, untuk mengurangi hambatan air dan memungkinkannya mempertinggi kecepatan pada saat berenang. Jari-jari kaki belakangnya berselaput renang, yang meskipun tak digunakan sebagai pendorong ketika berenang cepat, selaput ini amat berguna tatkala ia harus mendadak berbalik atau melakukan gerakan tiba-tiba di air, atau untuk memulai berenang. Kaki berselaput juga merupakan keuntungan manakala buaya perlu bergerak atau berjalan di air dangkal.

Buaya dapat bergerak dengan sangat cepat pada jarak pendek, bahkan juga di luar air. Binatang ini memiliki rahang yang sangat kuat, yang dapat menggigit dengan kekuatan luar biasa, menjadikannya sebagai hewan dengan kekuatan gigitan yang paling besar. Tekanan gigitan buaya ini tak kurang dari 5.000 psi (pounds per square inch; setara dengan 315 kg/cm²); bandingkan dengan kekuatan gigitan anjing rottweiler yang cuma 335 psi, hiu putih raksasa sebesar 400 psi, atau dubuk (hyena) sekitar 800 – 1.000 psi. Gigi-gigi buaya runcing dan tajam, amat berguna untuk memegangi mangsanya. Buaya menyerang mangsanya dengan cara menerkam sekaligus menggigit mangsanya itu, kemudian menariknya dengan kuat dan tiba-tiba ke air. Oleh sebab itu otot-otot di sekitar rahangnya berkembang sedemikian baik sehingga dapat mengatup dengan amat kuat. Mulut yang telah mengatup demikian juga amat sukar dibuka, serupa dengan gigitan tokek. Akan tetapi sebaliknya, otot-otot yang berfungsi untuk membuka mulut buaya amat lemah. Para peneliti buaya cukup melilitkan pita perekat besar (lakban) beberapa kali atau mengikatkan tali karet ban dalam di ujung moncong yang menutup, untuk menjaganya agar mulut itu tetap mengatup sementara dilakukan pengamatan dan pengukuran, atau manakala ingin mengangkut binatang itu dengan aman. Cakar dan kuku buaya pun kuat dan tajam, akan tetapi lehernya amat kaku sehingga buaya tidak begitu mudah menyerang ke samping atau ke belakang.
Buaya memangsa ikan, burung, mamalia, dan kadang-kadang juga buaya lain yang lebih kecil bahkan bangkai buaya dewasa. Reptil ini merupakan pemangsa penyergap; ia menunggu mangsanya hewan darat atau ikan mendekat, lalu menerkamnya dengan tiba-tiba. Sebagai hewan yang berdarah dingin, predator ini dapat bertahan cukup lama tanpa makanan, dan jarang benar-benar perlu bergerak untuk memburu mangsanya. Meskipun nampaknya lamban, buaya merupakan pemangsa puncak di lingkungannya, dan beberapa jenisnya teramati pernah menyerang dan membunuh ikan hiu. Perkecualiannya adalah burung cerek Mesir, yang dikenal memiliki hubungan simbiotik dengan buaya. Konon, burung cerek ini biasa memakan hewan-hewan parasit yang berdiam di mulut buaya, dan untuk itu sang raja sungai membuka mulutnya lebar-lebar serta membiarkan si cerek masuk membersihkannya.
Pada musim kawin dan bertelur buaya dapat menjadi sangat agresif dan mudah menyerang manusia atau hewan lain yang mendekat. Di musim bertelur buaya amat buas menjaga sarang dan telur-telurnya. Induk buaya betina umumnya menyimpan telur-telurnya dengan dibenamkan di bawah gundukan tanah atau pasir bercampur dengan serasah dedaunan. Induk tersebut kemudian menungguinya dari jarak sekitar 2 meter.
Embrio buaya tak memiliki kromosom seksual, yakni kromosom yang menentukan jenis kelamin anak yang akan ditetaskan. Jadi tak sebagaimana manusia, jenis kelamin buaya tak ditentukan secara genetik. Alih-alih, jenis kelamin ini ditentukan oleh suhu pengeraman atau suhu sarang tempat telur ditetaskan. Pada buaya muara, suhu sekitar 31,6°C akan menghasilkan hewan jantan, sedikit lebih rendah atau lebih tinggi dari angka itu akan menghasilkan buaya betina. Masa pengeraman telur adalah sekitar 80 hari, tergantung pada suhu rata-rata sarang.
Buaya ditengarai memiliki insting untuk kembali ke tempat tinggalnya semula (homing instinct).  Tiga ekor buaya yang ganas di Australia Utara telah dipindahkan ke lokasinya yang baru, sejauh 400 km, dengan menggunakan helikopter. Akan tetapi dalam tiga minggu hewan-hewan ini diketahui telah tiba kembali di tempat asalnya. Kejadian ini terpantau melalui alat pelacak yang dipasang pada tubuh reptil tersebut.
Menurut pengetahuan sekarang, buaya memiliki kekerabatan yang lebih erat dengan burung dan dinosaurus, dibandingkan dengan kebanyakan reptil umumnya. Tiga kelompok yang pertama itu, ditambah dengan kelompok pterosaurus, digolongkan menjadi grup besar Archosauria (='reptil yang menguasai').

Umur

Tidak ada cara yang meyakinkan untuk menghitung umur buaya, selain dengan mengetahui waktu penetasannya dahulu, meskipun ada beberapa teknik yang telah dikembangkan. Metode yang paling umum digunakan untuk menaksir umur hewan ini ialah dengan menghitung lingkaran tumbuh pada tulang dan gigi. Tiap-tiap lapis lingkaran menggambarkan adanya perubahan pada laju pertumbuhan, yang mungkin disebabkan oleh perubahan musim kemarau dan hujan yang berulang setiap tahun. Dengan tetap mengingat peluang ketidaktepatan metode ini, buaya yang tertua kemungkinan adalah spesies yang terbesar. Buaya muara (C. porosus) diperkirakan dapat hidup rata-rata hingga 70 tahun, dengan sedikit individu yang terbukti dapat melebihi umur 100 tahun. Salah satu buaya tertua yang tercatat, mati di kebun binatang Rusia pada usia sekitar 115 tahun.
Seekor buaya air tawar jantan yang dipelihara di Kebun Binatang Australia diperkirakan berumur 130 tahun. Hewan ini diselamatkan Bob Irwin dan Steve Irwin dari alam liar setelah ditembak dua kali oleh pemburu. Akibat tembakan senjata itu, buaya tersebut (yang kini dijuluki sebagai "Mr. Freshy") kehilangan mata kanannya.

Ukuran

Ukuran tubuh buaya sangat bervariasi dari jenis ke jenis, mulai dari buaya kerdil hingga buaya muara raksasa. Spesies bertubuh besar dapat tumbuh lebih panjang dari 5 m dan memiliki berat melebihi 1.200 kg. Walaupun demikian, bayi-bayi buaya hanya berukuran sekitar 20 cm tatkala menetas dari telur. Spesies buaya terbesar adalah buaya muara, yang hidup di wilayah Asia Tenggara hingga ke Australia utara.
Ukuran terbesar buaya muara hingga kini masih diperdebatkan. Buaya terbesar yang pernah tercatat adalah seekor buaya muara raksasa sepanjang 8,6 m, yang tertembak oleh seorang guru sekolah di Australia. Sedangkan buaya terbesar yang masih hidup adalah seekor buaya muara sepanjang 7,1 m di Suaka Margasatwa Bhitarkanika, Orissa, India. Pada bulan Juni 2006, rekornya dicatat pada The Guinness Book of World Records.
Dua catatan lain yang tepercaya mengenai ukuran buaya terbesar adalah rekor dua ekor buaya sepanjang 6,2 m. Buaya yang pertama ditembak di Sungai Mary, Northern Territory, Australia pada 1974 oleh seorang pemburu gelap, yang kemudian diukur oleh seorang petugas kehutanan. Sedangkan buaya yang kedua dibunuh di Sungai Fly, Papua Nugini. Ukuran buaya kedua ini sebetulnya diperoleh dari kulit, yang diukur oleh Jerome Montague, seorang peneliti margasatwa. Dan karena ukuran kulit selalu lebih kecil (menyusut) dari ukuran hewan aslinya, dipercaya bahwa buaya kedua ini sedikitnya berukuran 10 cm lebih panjang ketika hidup.
Buaya terbesar yang pernah dipelihara di penangkaran adalah seekor blasteran buaya muara dengan buaya Siam yang diberi nama Yai (Th.: ใหญ่, berarti besar) (menetas pada 10 Juni 1972) di Kebun Penangkaran Buaya Samutprakarn yang terkenal di Thailand. Binatang melata ini memiliki panjang tubuh hingga 6 m dan berat mencapai 1.114,27 kg.
Buaya raksasa peliharaan yang lain adalah seekor buaya muara yang bernama Gomek. Hewan ini ditangkap oleh George Craig di Papua Nugini dan kemudian dijual ke St. Augustine Alligator Farm di Florida, Amerika. Buaya ini mati karena penyakit jantung pada Februari 1997 dalam usia yang cukup tua. Menurut catatan penangkaran tersebut, ketika mati Gomek memiliki panjang 5,5 m dan mungkin berusia antara 70–80 tahun.
Buaya Bhitarkanika yang terbesar diperkirakan sepanjang 7,62 m. Dugaan ini diperoleh para ahli berdasarkan ukuran sebuah tengkorak buaya yang disimpan oleh keluarga Kerajaan Kanika. Buaya tersebut kemungkinan ditembak mati di dekat Dhamara sekitar tahun 1926 dan kemudian tengkoraknya diawetkan oleh Raja Kanika ketika itu. Dugaan panjang di atas didapat melalui perhitungan, dengan mengingat bahwa panjang tengkorak buaya sekitar sepertujuh panjang total badannya.

Taksonomi dan penyebaran

Kebanyakan buaya tergolong ke dalam marga Crocodylus. Dua marga lain yang masih hidup anggota suku Crocodylia ini adalah Osteolaemus dan Tomistoma, masing-masingnya bersifat monotipik.

Buaya di Indonesia

Sejauh ini diketahui sekitar tujuh spesies (atau subspesies) buaya yang ditemukan di Indonesia[10], yakni:
Buaya merupakan nama Indonesia untuk menyebut berbagai jenis reptil dari famili (suku) Crocodylidae. Selain disebut buaya, reptil ini juga dikenal dengan nama yang berbeda di beberapa daerah di Indonesia seperti buhaya (Sunda dan Banjar), baya atau bajul (Jawa), bekikok (Betawi), bekatak, atau buaya katak (buaya bertubuh kecil gemuk), senyulong, buaya jolong-jolong (Melayu). Dalam bahasa Inggris buaya disebut crocodile.sumber
Keberadaan buaya Mindoro di Indonesia (yakni di Sulawesi timur dan tenggara) baru dilaporkan semenjak 1996. Buaya Kalimantan (diketahui dari Kalimantan Barat dan Selatan) statusnya masih diperdebatkan, mengingat jenis ini serupa bentuk dan habitatnya dengan buaya air tawar, namun dengan beberapa ciri lain yang membedakannya. Demikian pula status buaya Sahul, yang selama ini dianggap identik dengan buaya Irian. Buaya Sahul menyebar terbatas di sebelah selatan Papua, sementara buaya Irian di sebelah utara pegunungan tengah.


Mengenal Ciri Buaya. Berbagai macam jenis (spesies) buaya termasuk spesies buaya di Indonesia memiliki ciri-ciri yang hampir sama. Pada umumnya buaya mempunyai habitat di perairan air tawar seperti danau, rawa dan sungai, namun ada pula yang hidup di air payau seperti buaya muara.
Buaya merupakan pemangsa penyergap yang menunggu mangsanya mendekat lalu menerkamnya tiba-tiba. Mangsa buaya meliputi ikan, burung, dan beberapa mamalia.
Selain mampu bergerak dengan cepat dan tiba-tiba buaya mempunyai kemampuan mencengkeram yang kuat pada rahang mulutnya. Tekanan gigitan rahang buaya dipercaya sebagai yang terkuat. Tetapi anehnya, otot-otot yang berfungsi untuk membuka mulut buaya sangat lemah. Buaya terbukti tidak mampu membuka mulutnya dari lakban yang dililitkan beberapa kali saja.
Mengenal Macam Jenis Buaya Indonesia. Buaya di Indonesia terdiri atas 7 jenis. Jenis (spesies) tersebut antara lain:
Buaya muara (Crocodylus porosus)
    Buaya muara jenis yang paling sering ditemukan di Indonesia
    Buaya muara merupakan spesies buaya yang terbesar, terpanjang dan terganas di antara jenis-jenis buaya lainnya di dunia. Buaya muara juga memiliki habitat persebaran yang sangat luas, bahkan terluas dibandingkan spesies buaya lainnya. Buaya muara dapat ditemukan mulai dari Teluk Benggala (India, Sri Langka, dan Bangladesh) hingga Kepulauan Fiji. Indonesia menjadi habitat terfavorit bagi buaya muara selain Australia.



    Buaya siam atau buaya air tawar (Crocodylus siamensis)
    Buaya siam, masuk daftar Critically Endangered (Kritis)
    Buaya Siam diperkirakan berasal dari Siam. Buaya siam selain di Indonesia dapat dijumpai pula di Thailand, Vietnam, Malaysia, Laos, dan Kamboja. Di Indonesia, buaya siam hanya terdapat di Jawa dan Kalimantan.











    Buaya irian (Crocodylus novaeguineae)
    Buaya Irian (Crocodylus novaeguineae) dan Buaya muara. Buaya Irian berwarna lebih gelap
    Buaya irian hanya terdapat di pulau Irian (Indonesia dan Papua Nugini). Bentuk tubuh buaya yang hidup di air t
    awar ini menyerupai buaya muara hanya berukuran lebih kecil dan berwarna lebih hitam.





    Buaya kalimantan (Crocodylus raninus)
    Buaya kalimantan (Crocodylus raninus)
    Buaya kalimantan mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan buaya muara. Lantaran itu buaya yang hanya dapat ditemui di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan ini statusnya masih menjadi perdebatan para ahli.








    Buaya mindoro (Crocodylus mindorensis)
    Buaya mindoro, Critically Endangered

    Buaya mindoro semula termasuk anak jenis (subspesies) dari buaya irian (Crocodylus novaeguineae) tapi kini buaya ini di anggap sebagai jenis tersendiri. Buaya mindoro di Indonesia dapat ditemukan di Sulawesi bagian timur dan tenggara.




    Buaya senyulong (Tomistoma schlegelii)
    Buaya senyulong, mulutnya lebih sempit
    Buaya senyulong tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa. Yang membedakan buaya senyulong dengan jenis buaya lainnya adalah moncongnya yang relatif sempit.







    Buaya sahul (Crocodylus novaeguineae)
    Buaya sahul sebenarnya sama atau masih dianggap satu jenis dengan buaya irian. Namun oleh beberapa ahli taksonomi buaya sahul yang hanya tersebar di Papua bagian selatan ini diusulkan untuk menjadi spesies tersendiri.


     

     

     

     

     

     

    Konservasi

    Mengingat banyak populasinya yang terus menurun dan menuju kepunahan, banyak jenis buaya di pelbagai negara yang dimasukkan ke dalam status dilindungi. Empat jenis buaya yang ada di Indonesia, yakni Crocodylus novaeguineae (buaya Irian); C. porosus (buaya muara); C. siamensis (buaya Siam); dan Tomistoma schlegelii (buaya sinyulong) telah dilindungi oleh undang-undang berdasarkan Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang Jenis-jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
    Buaya siam dan buaya mindoro merupakan buaya yang mulai langka dan dimasukkan dalam status konservasi Critically Endangered (Critis) oleh IUCN Redlist. Buaya senyulong dimasukkan dalam status konservasi Terancam Punah (Endangered). Sedangkan spesies buaya lainnya seperti buaya muara dan buaya irian didaftar dalam status konservasi berisiko rendah (Least Concern).
    Untuk mengurangi tekanan terhadap populasi buaya di alam, berbagai upaya penangkaran telah dikembangkan. Buaya muara dan buaya Nil adalah jenis-jenis yang paling banyak ditangkarkan. Penangkaran buaya muara cenderung meningkat, terutama di Australia. Di Indonesia pun telah banyak dilakukan upaya penangkaran buaya ini, meskipun masih setengah bergantung ke alam, mengingat stok buaya yang dipelihara masih mengandalkan pemungutan telurnya dari alam, untuk kemudian ditetaskan dan dibesarkan di penangkaran.

    Sumber :
    1. Wikipedia - Buaya
    2. Alamendah - Buaya di Indonesia
    3. National Geographic - Crocodile
    4. Art.com
    5. Sumber lain

     

    | | Read More »

    Cecak



    Cecak atau cicak adalah hewan reptil yang biasa merayap di dinding atau pohon. Cecak berwarna abu-abu, tetapi ada pula yang berwarna coklat kehitam-hitaman. Cecak biasanya berukuran sekitar 10 centimeter. Cecak bersama dengan tokek dan sebangsanya tergolong ke dalam suku Gekkonidae.(sumber)
    Cicak atau cecak merupakan reptil yang biasa merayap di dinding atau pepohonan. Cecak terkenal sebagai pemanjat yang ulung. Binatang ini mampu memanjat dinding tegak lurus, bahkan memanjat dan merayap di atap. Kemampuan ini dimiliki karena cecak memiliki bulu-bulu halus yang mampu melekat pada permukaan apapun pada keempat kakinya. Tak hanya itu, ekornya juga berfungsi sebagai penyeimbang pada saat cecak memanjat permukaan yang tegak lurus. Pada saat cecak terpeleset, ujung ekornya akan mendorong permukaan sehingga kepala dan bagian atas tubuh cecak tidak menjauh dari permukaan dinding. Dalam keadaan normal ekor ini akan menempel pada permukaan sehingga memberi cecak waktu sekitar ¼ detik untuk melepas pegangan pada permukaan dan melangkah ke depan. Namun bila semua usaha gagal dan harus terjatuh, ekor ini akan menjadi penyeimbang sehingga posisi jatuh cecak selalu dengan keempat kakinya terlebih dahulu yang menyentuh tanah. Ekor cecak mampu membuat seluruh tubuhnya berputar hanya dalam  waktu 1/10 detik saja.
    Tubuhnya bewarna abu-abu, ada pula yang berwarna kecoklatan bahkan ada pula yang kehitaman. Ukuran tubuhnya sekitar 10 centimeter.  Kata ‘cecak’ berasal dari suara yang dibuat binatang ini, yaitu “cak, cak, cak”, ya inilah suara yang mengganggu saya semalam, seperti berdecak. (sumber)

    Macam-macam cecak

    Cecak ada banyak jenisnya. Di lingkungan rumah kita saja ada sekitar tiga jenis (spesies) yang sering ditemui, yakni :
    Cecak tembok (tapi kebetulan lagi nempel di dinding kayu - sumber)
     Cecak tembok (Latin Cosymbotus platyurus), yang kerap ditemui di tembok-tembok rumah dan sela-sela atap. Cecak ini bertubuh pipih lebar, berekor lebar dengan jumbai-jumbai halus di tepinya. Bila diamati di tangan, dari sisi bawah akan terlihat adanya lipatan kulit agak lebar di sisi perut dan di belakang kaki.


    Cecak kayu (bisa dilihat pada ekornya ada tonjolan seperti duri-duri - sumber)
    Cecak kayu (Hemidactylus frenatus), yang bertubuh lebih kurus. Ekornya bulat, dengan enam deret tonjolan kulit serupa duri, yang memanjang dari pangkal ke ujung ekor. Cecak kayu lebih menyukai tinggal di pohon-pohon di halaman rumah, atau di bagian rumah yang berkayu seperti di atap. Terkadang didapati bersama cecak tembok di dinding luar rumah dekat lampu, namun umumnya kalah bersaing dalam memperoleh makanan.

    Cecak gula - (sumber)
    Cecak gula (Gehyra mutilata), bertubuh lebih kecil, dengan kepala membulat dan warna kulit transparan serupa daging. Cecak ini kerap ditemui di sekitar dapur, kamar mandi dan lemari makan, mencari butir-butir nasi atau gula yang menjadi kesukaannya. Sering pula ditemukan tenggelam di gelas kopi kita.

    Cecak batu - (sumber)

    Cecak batu (Cyrtodactylus marmoratus).
    Cecak yang berukuran besar, berkepala besar Panjang total mencapai 340 mm, hampir setengahnya adalah ekornya Dorsal (sisi punggung) kasar, dengan banyak bintil besar. Tokek adalah nama umum untuk menyebut cecak besar
       Kecuali
      • Cecak terbang (Draco spp.) sebetulnya bukan 'cecak' (suku Gekkonidae) melainkan termasuk suku kadal agamid (Agamidae), seperti halnya bunglon.
      Klasifikasi Ilmiah

      Kerajaan: Animalia
      Filum: Chordata
      Kelas: Reptilia
      Ordo: Squamata
      Upaordo: Lacertilia
      Infraordo: Gekkota
      Famili: Gekkonidae
      Gray, 1825

      Subfamilies

      Sumber :
      1. Wikipedia - Cecak
      2. KapanLagi.com – Rahasia Ekor Cicak
      3. Cooper - Cecak 
      4. Burungkicauan - Cecak

        | | Read More »

        Dunia Reptil

        Reptil (binatang melata) adalah sebuah kelompok hewan vertebrata yang berdarah dingin, dan memiliki sisik yang menutupi tubuhnya. Reptil tergolong  hewan tetrapoda (hewan dengan empat tungkai) dan kebanyakan dari jenis ini bereproduksi dengan bertelur dimana embrionya diselubungi oleh membran amniotik. Binatang reptil bisa ditemui di berbagai daerah diseluruh benua kecuali didaerah dingin Antartika. Reptil bisa dikelompokkan menjadi 4 ordo antara lain sebagai:
            * Ordo Crocodilia (buaya, garhial, caiman, dan alligator): terdapat 23 spesies
            * Ordo Sphenodontia (tuatara Selandia Baru): terdapat 2 spesies
            * Ordo Squamata (kadal, ular dan amphisbaenia ("worm-lizards")): terdapat sekitar 7.900 spesies
            * Ordo Testudinata (kura-kura, penyu, dan terrapin): terdapat sekitar 300 spesies

        Mayoritas reptil adalah ovipar (bertelur) meski beberapa spesies Squamata bersifat vivipar (melahirkan). Reptil vivipar memberi makan janin mereka menggunakan sejenis plasenta yang mirip dengan mamalia.

        Ukuran reptil bervariasi, dari yang berukuran hingga 1,6 cm (tokek kecil, Sphaerodactylus ariasae) hingga berukuran 15 m dan beberapa bisa mencapai berat 1 ton (buaya air asin, Crocodylus porosus).
        Cabang ilmu pengetahuan alam yang mempelajari reptil adalah herpetologi.

        Reptil yang ada sekarang kebanyakan adalah tinggalan dari jaman Pra-sejarah, Sehingga kita dapat menemukan beberapa spesies mirip dengan jaman dinosaurus





        Sumber:
        Wikipedia dan sumber lain.

        | | Read More »